Hijrah Hati menuju taqwa, menelusuri jejak sang idola, kecil dibina, remaja terjaga, muda bersahaja, keluarga bahagia, tua sejahtera, meninggalkan dunia untuk surga,.. InsyaAllah

maritime tourism, Historical heritage and cultural resource in Suak Gual, Indonesia (wisata bahari, sejarah dan budaya di pulau mendanau bangka belitung )

Pesona mercusuar tanjung lancor dari laut Pesona pariwisata dan khasanah alam budaya memiliki prospek yang cukup potensial untuk me...

secret admirer


secret admirer

Mimpi semalam membuat kepalanya pening. Matanya berputar-putar mencoba mengingat-ingat kembali kejadian di dalam mimpinya, mimpi yang tidak asing lagi. Mimpi yang sudah berbulan-bulan selalu hadir di setiap tidurnya. Terlihat jelas seorang cowok jangkung mengenakan sweter silver berdiri memunggunginya, sehingga membuatnya tak bisa melihat dengan jelas siapa cowok itu?
Tiba-tiba suara wanita separuh baya dari balik pintu membuyarkan lamunannya.
“Ca, kamu sudah bangun kan? Ayo buruan turun, ditunggu ayah di meja makan.”
“Tinggal saja bund, Caca masih siap-siap.” Terpaksa Caca harus berbohong, meskipun tidak sepenuhnya bohong. Dia memang masih siap-siap, siap-siap menuju kamar mandi. Hehe.
**Sepatu nike hitam, tas punggung berwarna kuning, rambut lurus sebahu, dan jepit pita berwarna kuning, itulah ciri khas Caca. Dengan sekuat tenaga gadis mungil itu berlari menuju ruang looker. Sesampai disana, ia langsung mencari looker bernomer 31. Pintu looker terbuka dan sebuah kertas berwarna kuning jatuh di lantai. Tangan Caca meraih benda yang sudah tak asing itu.
”Ck..surat lagi.” Caca berdecak. Ia tak langsung membukanya, karena ia sudah bisa menduga siapa pengirim surat kecil itu. “Secret Admirer” ya!


 Pengirim surat itu adalah pemuja rahasianya Caca, setiap hari pemuja rahasia itu menulis sebaris kata-kata pujian untuk Caca. Dan hari ini isi surat itu adalah Pagi Tasya cantik, jepit pita kuningmu lucu kayak kamu. Seakan-akan surat itu hidup dan dapat melihat apa yang dikenakan Caca setiap hari. Ia bingung, penasaran, kagum, ingin tahu, siapa sebenarnya pengirim surat misterius itu. Berkali-kali Caca bersusah payah berangkat lebih pagi dari biasanya, tetapi hasilnya nihil. Ia tidak dapat menemukan siapa pengirimnya. Setelah memasukkan kertas kecil itu kedalam sakunya, Caca berjalan menuju kelas. Di kelas terlihat beberapa anak sedang sibuk melanjutkan tugas PR. Caca tampak tenang, karena semalam ia melembur tugas PR itu sampai larut.
Waktu menunjukkan pukul 14.00, Caca menutup pintu looker bernomer 31 dan berjalan meninggalkan deretan looker berwarna biru tua. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, ia merasa ada yang memerhatikan gerak-geriknya sedari tadi. Matanya menyusuri seluruh ruangan, tak ada siapa-siapa disana. Di depan pintu ruang looker ia bertemu dengan Nina teman sekelasnya. Caca hanya tersenyum membalas sapaan Nina dan ia melanjutkan langkahnya. Ia terus berjalan melewati koridor yang sudah sepi. Angin berhembus kencang, dan mendung bergelayut di langit. “sebentar lagi pasti turun hujan..” gumamnya sambil mempercepat langkah kakinya. Ketika sampai di depan ruang UKS. Langkahnya terhenti, ia berdiri mematung di depan pintu, terlihat ruangan bersejarah itu masih terbuka lebar. Tak ada seorangpun disana.
**Caca memasuki ruang UKS sambil memegangi perutnya. Tiba-tiba seorang cowok menyetop langkahnya. “Ehm maaf, nama adik siapa dan kelas berapa?” Kata cowok itu sambil tersenyum kearah Caca. Ia tak langsung menjawab pertanyaan itu, wajahnya sedikit gugup ketika merasa tangannya dipegang oleh seseorang. “Eh maaf-maaf, silahkan berbaring dulu dik. Tapi nama adik siapa dan kelas berapa? Biar aku catat dulu.” Tanya cowok itu lagi sambil memegangi sebuah buku dan bolpoin. “Nama saya Natasya Kirana kak, dari kelas 1A. Perut saya sakit mau minta obat maag. Ada kan kak?” jawab Caca sambil terus memegangi perutnya. “Oh iya maaf-maaf dik, aku carikan dulu ya. Kamu tiduran saja.” Setelah beberapa saat, cowok itu kembali dengan kotak obat dan sebuah roti di tangannya. “Kamu sakit maag ya dik? Pasti belum sarapan? Ini dimakan dulu rotinya, setelah itu minum obat.” Caca menerima pemberian itu dengan seulas senyuman. “Terimakasih ya kak..” Ucap Caca.
“Iya sama-sama..” Tatapan mata itu membuatnya nyaman, ia merasa ingin melihat senyuman indah itu setiap hari... Caca menepiskan bayangan masa lalunya dan kembali meneruskan langkah kakinya.
**Adzan Subuh membangunkannya. Dengan langkah gontai Caca berjalan menuruni tangga dan segera mengambil air wudhu. Ayah dan ibunya sudah menunggunya di mushola kecil di sudut ruang tengah. Setelah memanjatkan beberapa doa, Caca memutuskan untuk melanjutkan kembali tidurnya di kamar yang sudah 2 tahun ini ditinggalkan kakaknya kuliah di luar kota. Ia berharap dengan tidur disini ia tidak bermimpi aneh lagi. “Kamu siapa sih sebenarnya? Ngapain kamu datang ke mimpiku terus? Mau kamu apa sih?” Cowok tinggi itu hendak membalikkan tubuhnya ketika Caca merasa badannya terguncang oleh sesuatu. “Caca ayo bangun ca!!! Kok malah tidur disini sih? Ayo buruan bangun ca!!! Buruan mandi sana, antarkan bunda ke pasar.” Kata ibunya sambil terus mengguncang-guncang tubuh putrinya. “Ah bunda apaan sih? Gak jadi ketahuan dong kalau gini..” jawab Caca sambil mengucek-ucek kedua matanya. “Ketahuan apanya? Buruan mandi gih sana, bunda tunggu di teras ya..” Kata ibunya sambil keluar kamar. Dengan malas Caca berjalan menuju kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap.
Minggu pagi ini pasar Raya sangat sesak. Seakan semua orang yang biasanya pergi ke sekolah ataupun ke kantor, semuanya berkumpul di pasar. Ketika sedang asyik melihat kiri dan kanan, ia dikejutkan dengan tepukan di bahu sebelah kirinya. Dan iapun menoleh “Pak Damar..????” katanya agak tak yakin kepada seorang pria yang berdiri di depannya.
“Iya neng, sedang belanja ya?”
“Iya nih pak, nganterin bunda. Oh iya bund, ini pak Damar penjaga sekolahnya Caca.” Katanya mengenalkan.
“Sonya, senang bertemu dengan anda pak.”
“Saya Damar bu, senang juga bertemu dengan anda.”
“Ya sudah, saya duluan ya pak? Ayo bund, keburu siang nanti.”
“Mangga atuh neng.” Kedua mata tua itu mengikuti punggung Caca hingga menghilang ditelan kerumunan orang.
**Entah apa yang membuat Caca berlari sekencang ini. Ia tak menghiraukan hujan yang membuat bajunya basah kuyup. Ia berlari melewati koridor yang sepi, menaiki tangga, dan perlahan membuka pintu ruang looker yang tidak terkunci. Setelah pintu itu terbuka, ia terkejut melihat sosok seorang pria yang sudah tak asing lagi. “Pak Damar...” pria separuh baya itu tampak terkejut melihat kedatangan Caca. Iapun berjalan menghampiri pak Damar yang masih mematung di depan pintu looker bernomer 31. “jadi selama ini bapak yang menulis surat kecil itu untuk saya?” Wajah tua itu tampak gugup, tapi kemudian tangan pak Damar meraih tangan Caca dan menariknya keluar ruangan. “bapak mau mengajak saya kemana? Bapak belum menjawab pertanyaan saya.” Caca meronta-ronta kebingungan, tapi pak Damar tetap membisu. “pak!!! Kita mau kemana?” pak Damar tetap diam seribu bahasa, akhirnya Cacapun menurut mengikuti langkah kaki pak Damar.
Mereka berjalan memasuki rumah besar yang ada di depan lorong sekolah. Setelah sampai di ruang tamu, pak Damar tidak langsung melepaskan genggamannya. Ia terus menarik tangan Caca sampai ke halaman belakang rumah besar itu. Dan mmperlihatkan beberapa gundukan tanah. Caca menghampiri beberapa makam itu, ia tampak bingung tak mengerti apa maksud semua ini. “pak, saya tidak mengerti.” Pak Damar tetap terdiam. Caca mengeja nama di nissan tersebut satu persatu. “Dimas Andrian????? Andi Saputra???? Sinta Putrianti??? Siapa mereka pak??? Saya sama sekali tidak mengenal mereka..” Ia tampak kebingungan dengan nama-nama asing itu. Kemudian pak Damar mengajaknya kembali memasuki rumah besar itu, dan menunjukkan sebuah kamar cowok yang.... “Loh, ini kan fotoku? Kok bisa ada disini sih?” kata Caca sambil meraih sebuah figura foto yang terpajang rapi disamping tempat tidur berwarna silver. Disana foto Caca dengan berbagai macam gaya terpampang. Dari figura yang paling besar sampai yang paling kecil semuanya ada. Ia berjalan mengelilingi ruangan luas itu, lalu ia memandang mengamati figura foto besar yang menempel di dinding berwarna biru muda itu. “sepertinya aku pernah melihat cowok ini???” Gumamnya sambil mencoba mengingat-ingat wajah cowok yang tersenyum lebar di foto itu. “ini kan kakak yang waktu itu jaga di UKS?” Lalu matanya tertuju pada sebuah buku diary yang ada di meja belajar, lalu diraihnya buku itu. Awalnya ia ragu untuk membukanya, dan menatap pak Damar yang sedari tadi memerhatikan gerak-geriknya. Pak Damarpun mengangguk pelan, kemudian Caca mulai membuka buku diary itu.
13/07/2010
Hari ini penerimaan siswa baru di sekolah, gak sengaja ngeliat adik kelas imut banget. Dikuncir dua pakai pita merah jambu. Tapi siapa ya dia?
14/07/2010
Ketemu sama adik imut lagi di kantin, tapi cuma bisa ngeliat dia dari jauh
15/07/2010
Dia keliatan lebih dewasa setelah memakai seragam putih abu-abu.
16/07/2010
Dia ke UKS gara-gara maagnya kumat, pas banget sama jadwal piketku jaga UKS hari ini jadi bisa ketemu sama dia. Ternyata namanya Natasya Kirana, nama yang bagus. Panggilannya siapa ya? Mungkin Tasya.
17/07/2010
Pagi ini Tasya cantik banget, pakai jepit pita warna orange membuat wajahnya tambah imut.
17/07/2010
Seharian ini aku sama sekali gak ngeliat dia mungkin dia gak masuk sekolah.
18/07/2010
Harusnya gak ada hari Minggu, biar bisa ketemu sama dia terus
.....

Tak terasa setetes air mata jatuh membasahi pipinya, Caca merasa terharu. Ternyata selama ini ada seorang cowok yang begitu mengaguminya. “Pak, bisa menjelaskan semuanya sama saya? Saya masih belum mengerti sama semua ini. Bapak sebenarnya apanya kak Dimas? Lalu untuk apa bapak menaruh surat kecil itu di looker saya setiap hari?”
“Maafkan saya neng, saya tidak bermaksud lancang. Sebenarnya saya bukan apa-apanya den Dimas, saya hanya supir pribadi keluarganya den Dimas.”
“Supir pribadi? Lalu kenap.....????” Caca menyela cerita pak Damar, ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya.
“Biarkan saya melanjutkan dulu neng. Selama 27 tahun saya menjadi supir pribadi keluarganya den Dimas. Suatu hari ketika tuan Andi sekeluarga sedang berlibur ke puncak, mobil yang saya setir oleng ketika saya mencoba menghindar dari sebuah truk yang menyelip, dan mobil kamipun menghantam pagar pembatas jalan tol. Kami semua terpental dari mobil itu kecuali nyonya Sinta, badan nyonya terjepit di dalam mobil dan tewas di tempat. Sedangkan saya, tuan Andi, dan den Dimas dapat dilarikan ke rumah sakit, tapi tuan Andi hanya dapat bertahan beberapa jam saja, beliau mempercayai saya untuk menjaga den Andi dan rumah besar ini, sedangkan perusahaan tuan untuk sementara waktu dipimpin oleh pegawai kepercayaan tuan sambil menunggu den Dimas dewasa. Maka dari itu saya melamar pekerjaan menjadi seorang tukang kebun di sekolah neng sekalian menjaga den Dimas, soalnya di rumah saya hanya menganggur karena dulu tugas saya mengantar tuan Andi ke kantor setiap hari. Lagipula saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, maka dari itu ketika tuan Andi, nyonya Sinta, dan den Dimas meninggal saya sangat terpukul. ” Caca menangis lagi, lalu cepas-cepat ia menghapus airmatanya dan kembali bertanya, “lalu kenapa kak Dimas bisa meninggal pak?” dengan mulut gemetar pak Damar melanjutkan kalimatnya. “den Dimas kecelakaan juga neng, tapi saya yakin ada yang membuat rem mobilnya den Dimas blong. Tapi sampai sekarang pelakunya belum ditemukan.”
“Tapi pak biasanya kan kalau ada kakak kelas yang meninggal, pihak sekolah selalu mengumumkannya di sekolah?”
“den Dimas pernah bilang sama saya, kalau dia pergi nanti dia gak mau ada orang yang tahu selain keluarga, ia ingin hidup dengan kedua orangtuanya di surga. Itu yang membuat saya selalu bungkam ketika ada yang bertanya soal den Dimas, lagipula dulu waktu den Dimas meninggal pada saat liburan sekolah.”
“Innalillahiwainnailaihiroji’un. Lalu apa hubungannya dengan surat-surat itu pak?”
“Hmm...” pak Damar menghembuskan nafas panjang dan mengambil sebuah kardus besar di bawah kolong tempat tidur. “lihat semua ini neng, dulu den Dimas selalu menulis surat ini di pagi hari. Tapi ia bingung bagaimana menaruhnya di looker neng soalnya den Dimas gak punya kunci looker neng, akhirnya dia meminta saya untuk menaruh surat-surat ini di looker neng setiap hari. Karna memang yang membawa kunci semua ruangan di sekolah adalah saya. Sekarang neng mengerti kan?”
Caca nampak pucat, badannya lemas mendengar pengakuan pak Damar. Rasanya ia ingin sekali mengulang waktu-waktu dulu. Ia ingin mencari yang namanya kak Dimas. “jadi selama ini aku punya penggemar rahasia..tatapan indah itu, rasanya benar-benar menyesal. Kenapa aku bisa gak tau kalau ada orang yang menyukaiku? Kenapa aku bisa gak tau kalau ada yang fotoin aku setiap hari?” airmata itu menetes begitu deras.
Sejak saat itu Caca rajin datang ke rumah Dimas, setiap seminggu sekali. Ia menabur bunga dan membacakan doa untuk pemuja rahasianya dan untuk kedua orangtuanya Dimas. Dan sejak saat itu Dimas jarang datang ke mimpinya Caca lagi.
****end***

No comments:

Post a Comment

Advertisement

Hijrah Hati menuju taqwa, menelusuri jejak sang idola, kecil dibina, remaja terjaga, muda bersahaja, keluarga bahagia, tua sejahtera, mati masuk surga,.. InsyaAllah

Popular