Ketika aku
meninggalkan harta karunnya mahasiswa (BIDIK MISI)
Akhir-akhir
ini universitas riau dihebohkan oleh banyak persoalan yang menyangkut antara
hak dan kewajiban mahasiswa. Salah satu adalah pencairan beasiswa bidik misi
yang terkesan lambat ditambah lagi kurangnya tranparansinya informasi akan
keterlambatan beasiswa tersebut.
Berbicara mengenai beasiswa bidik misi, maka saya
merasa terkesan dengan dengan beasiswa ini. Siapa yang tidak mau mendapatkan
uang jutaan..? siapa yang tidak menginginkan kehidupan yang lebih baik dengan
uang tersebut..? bagi sebagian orang ini merupakan harta karun yang harus
didapatkan untuk menambah keuangannya, dan tidak sedikit juga yang mengharapkan
hidup dan matinya dengan beasiswa ini ditengah-tengah keterbatasan ekonomi.
Sebelumnya saya pernah menulis “Ketika beasiswa dijadikan ajang mencari uang”. Disana saya sebagai
mahasiswa merasa miris dan prihatin. Ketika kita sebagai orang yang
berkehidupan cukup dan mampu, malah berebut antrian dan saling bunuh dengan mahasiswa
yang benar-benar membutuhkan uang tersebut. Itu masih dalam jalur pendaftaran
yang sesuai alur. Nah bagaimana dengan cerita-cerita miring tentang nepotisme,
dan unsur sogok menyogok untuk mendapatkan uang secara Cuma-Cuma. Sebuah
rahasia umum yang semua orang sudah tau.
“Mungkin yang nulis iri karena tidak mendapatkan
beasiswa”,
“uang pemerintah harus dimanfaatin, rugi dong kalau
dibiarin”.
Saya tekankan kembali, saya bukan iri ataupun
dengki. Saya dan bidik misi sudah saling berkenalan ketika saya belum
menginjakan kaki didunia perkuliahan. Sebagai seseorang siswa yang didaftarkan
sekolah untuk mengikuti SNMPTN Undangan dan juga direkomendasikan beasiswa
bidik misi. SNMPTN undangan tidak lolos namun beasiswa bidik misi masih bisa
digunakan. SNMPTN tertulis merupakan saksi bisu saya memakai uang bidik misi
untuk pertama kali (150.000) atau free bagi siswa yang direkomendasikan bidik
misi. Dan saya dinyatakan lulus di salah satu PTN di Riau dan PTN di Surakarta.
Namun dikarenakan pendaftaran di UNRI bergandengan dengan bidik misi, maka saya
harus merelakan kuliah di pulau jawa dengan harapan beasiswa tersebut.
Namun Ada sesuatu yang berbeda ketika saya mulai
memahami lebih jauh tentang bidik misi. Yaa, bidik misi merupakan beasiswa
untuk mahasiswa yang mempunyai masalah ekonomi (kurang mampu). Sebagai
seseorang yang masih sadar dan waras, maka ini ganjil dan aneh, saya pun segera
berkonsultasi dengan orang tua. Alhasil, orang tua melarang, dan ayah sebagai
orang yang paling menentang untuk melanjutkan beasiswa tersebut. Beliau
berpesan kepada saya ,”silahkan saja kamu mencari dan mendaftar beasiswa, tapi
jangan yang menggunakan label kurang mampu. Kita semua masih berkecukupan, dan
ayah masih bisa membiayai kuliahmu meskipun harus bersusah payah, dari pada
harus merendah dan mendo’akan kita jadi miskin, ayah pernah merasakan hidup
susah, maka jangan pernah mengambil hak orang yang seharusnya mendapatkannya.”
Lebih kurang itulah pesan beliau kepada saya ketika itu.
Maka saya yakinkan bahwa uang pendaftaran itu
merupakan uang bidik misi pertama kali dan terakhir kali yang akan saya
gunakan.dan memutuskan untuk tidak melanjutkan beasiswa tersebut.
Mari sejenak kita melihat di laman-laman media
social. Berapa orang yang berani menyuarakan kegelisahannya tentang lambatnya
pencairan bidik misi..?.tidak sampai ratusan orang. Sementara berapa ribu
mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut..? belum lagi jika kita
bagi ratusan mahasiswa yang mengeluh tersebut menjadi “mahasiswa yang peduli”
dan “mahasiswa yang membutuhkan”..? berapa puluh orang yang bertipe peduli..?
lalu sisanya, berapa orang yang benar-benar membutuhkan dan menggantungkan
hidupnya dengan beasiswa tersebut..?
Saya yakin, kita semua juga telah mengetahui seperti
apa kehidupan sebagian teman kita yang telah menerima beasiswa tersebut. Banyak
yang berfoya-foya, tapi tidak sedikit juga untuk dijadikan tabungan. Bukankah kita
bisa menilai..?
Kita selalu menghujat dan mengutuk para korupsi,
karena mereka memakan hak rakyat. lantas masihkan kita selalu berebut antrian
dan mengantri untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Merebut dan menggunakan yang
bukan hak kita..? bukankah itu termasuk dari bagian manusia yang sering kita
hujat ? maka lebih sadar dan waraslah untuk memilih beasiswa, beasiswa yang sesuai
dengan porsi dan jatah kita.
Yakinlah, Allah Maha Melihat, Maha Mendengarkan dan
juga Maha Mengabulkan, termasuk mengabulkan do’a dan pinta para pendaftar untuk
menjadi miskin. Sesuai dengan isi surat keterangan tidak mampu plus cap dan
tanda tangan palsu yang sering dibuat.
Aamiin.
Semoga membuka hati kita, maaf sudah menyinggung
bagi yang tersinggung.
1 langkah
kebaikan kita akan menolong mereka yang lebih membutuhkan.
argadian yoga praditya
wah joss artikelnya
ReplyDelete